
Menerima hasil gagal akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) atau badan akreditasi lainnya adalah mimpi buruk bagi setiap manajer dan personel laboratorium. Ini bukan sekadar penolakan administratif, melainkan sebuah sinyal bahaya yang dapat meruntuhkan fondasi kepercayaan, legalitas, dan keberlangsungan bisnis laboratorium kamu. Lantas, apa saja dampak riil yang akan segera terjadi dan bagaimana cara bangkit dari keterpurukan ini? Memahami konsekuensi secara menyeluruh adalah langkah pertama untuk mitigasi dan perbaikan.
Kegagalan ini menandakan bahwa sistem manajemen mutu dan kompetensi teknis laboratorium kamu dinilai tidak memenuhi standar yang diakui secara internasional, paling umum adalah ISO/IEC 17025. Hasilnya, kredibilitas setiap laporan pengujian atau kalibrasi yang kamu terbitkan akan langsung dipertanyakan, memicu efek domino yang merugikan.
Sebelum menyelam lebih dalam ke konsekuensi kegagalan, penting untuk menyamakan persepsi tentang apa itu akreditasi. Akreditasi laboratorium adalah pengakuan formal oleh lembaga berwenang (di Indonesia adalah KAN) yang menyatakan bahwa sebuah laboratorium memiliki kompetensi untuk melakukan jenis pengujian atau kalibrasi tertentu sesuai dengan standar yang berlaku. Standar yang menjadi acuan utama di seluruh dunia adalah ISO/IEC 17025:2017 – General requirements for the competence of testing and calibration laboratories.
Akreditasi bukan hanya tentang mendapatkan sertifikat untuk dipajang di dinding. Ini adalah tentang:
Akreditasi menjadi jaminan bagi pelanggan, regulator, dan publik bahwa hasil yang dikeluarkan laboratorium adalah akurat, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Saat surat keputusan “Tidak Direkomendasikan untuk Akreditasi” atau “Penangguhan Akreditasi” tiba, dampaknya terasa seketika. Ini adalah fase kritis yang menentukan apakah laboratorium mampu bertahan atau tidak.
Pelanggan, terutama dari sektor industri dan pemerintahan, memilih laboratorium terakreditasi karena mereka membutuhkan jaminan mutu dan pengakuan legal. Kegagalan akreditasi secara otomatis menghancurkan jaminan ini. Pelanggan yang ada akan segera mencari alternatif laboratorium lain yang terakreditasi untuk memastikan produk atau proses mereka tetap memenuhi standar dan regulasi.
Semua hasil uji atau sertifikat kalibrasi yang diterbitkan oleh laboratorium yang gagal atau ditangguhkan akreditasinya berpotensi ditolak oleh pihak ketiga. Bayangkan jika hasil ujimu digunakan untuk:
Ini membuka pintu bagi tuntutan hukum dari pelanggan yang merasa dirugikan karena menggunakan data yang tidak diakui.
Kehilangan pelanggan berarti kehilangan pendapatan. Ini adalah pukulan finansial langsung. Namun, kerugian tidak berhenti di situ. Biaya lain akan muncul, seperti:
Arus kas laboratorium akan terganggu secara signifikan, bahkan bisa menyebabkan kebangkrutan.
Menurut Komite Akreditasi Nasional (KAN), “Akreditasi memberikan kepercayaan pada pasar dan regulator. Tanpa itu, laboratorium kehilangan ‘lisensi’ untuk beroperasi secara kredibel dalam ekosistem industri dan perdagangan.”
Jika dampak jangka pendek tidak segera ditangani, masalah akan mengakumulasi dan menciptakan konsekuensi jangka panjang yang lebih merusak.
Di era digital, berita buruk menyebar dengan cepat. Kegagalan akreditasi bisa menjadi perbincangan di kalangan industri. Membangun kembali reputasi sebagai laboratorium yang tepercaya setelah insiden seperti ini membutuhkan waktu bertahun-tahun dan upaya yang luar biasa. Stigma “laboratorium gagal” akan terus melekat.
Hampir semua tender pemerintah dan swasta skala besar menjadikan sertifikat akreditasi ISO/IEC 17025 sebagai syarat mutlak. Tanpa sertifikat tersebut, laboratorium kamu secara otomatis akan didiskualifikasi dari proses tender, menutup peluang bisnis yang sangat besar.
Personel laboratorium adalah aset utama. Kegagalan akreditasi seringkali dianggap sebagai kegagalan kolektif. Hal ini dapat menyebabkan demotivasi, rasa frustrasi, dan saling menyalahkan di antara tim. Personel kunci yang kompeten mungkin akan memilih untuk pindah ke laboratorium lain yang lebih stabil, menyebabkan brain drain yang semakin memperburuk keadaan.
Jika laboratorium kamu beroperasi di sektor yang teregulasi ketat (misalnya, kesehatan, lingkungan, atau pangan), kegagalan akreditasi akan memicu alarm bagi badan regulator. Kamu akan berada di bawah pengawasan yang lebih intensif, dan setiap aktivitasmu akan diawasi dengan lebih ketat di masa depan, bahkan setelah berhasil mendapatkan akreditasi kembali.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, mari kita bandingkan kedua kondisi tersebut dalam sebuah tabel.
Aspek | Laboratorium Terakreditasi | Laboratorium Gagal Akreditasi |
---|---|---|
Pengakuan Hasil Uji | Diakui secara nasional dan internasional (melalui Mutual Recognition Arrangement/MRA). | Ditolak oleh regulator, industri, dan pasar. Dianggap tidak valid. |
Kepercayaan Pelanggan | Tinggi. Menjadi pilihan utama karena ada jaminan mutu. | Rendah hingga tidak ada. Pelanggan eksodus mencari lab lain. |
Peluang Bisnis | Terbuka lebar untuk tender pemerintah, kontrak industri besar, dan pasar ekspor. | Sangat terbatas, hanya untuk klien yang tidak mensyaratkan akreditasi (jika ada). |
Risiko Hukum | Rendah. Hasil uji dapat dipertanggungjawabkan dan menjadi bukti yang kuat. | Tinggi. Rentan terhadap tuntutan hukum dari pelanggan yang dirugikan. |
Moral Tim | Tinggi. Ada kebanggaan profesional dan kejelasan dalam bekerja. | Rendah. Terjadi demotivasi, frustrasi, dan potensi kehilangan talenta. |
Efisiensi Operasional | Tinggi karena sistem manajemen mutu berjalan baik dan terstruktur. | Rendah. Banyak pengerjaan ulang, keluhan, dan proses yang tidak efisien. |
Gagal akreditasi bukanlah akhir dari segalanya jika ditanggapi dengan cepat dan strategis. Ini adalah kesempatan untuk melakukan perbaikan fundamental. Berikut adalah langkah-langkah yang harus segera kamu ambil:
Langkah pertama adalah menerima hasil penilaian dari tim asesor tanpa bersikap defensif. Pelajari setiap temuan ketidaksesuaian (KTS), baik kategori mayor maupun minor. Bentuk tim internal dan lakukan analisis mendalam untuk menemukan akar masalah dari setiap temuan. Jangan hanya memperbaiki gejalanya, tetapi gali hingga ke penyebab utamanya. Apakah karena kurangnya pelatihan? Prosedur yang tidak jelas? Peralatan yang tidak terawat? Atau budaya kerja yang abai terhadap mutu?
Berdasarkan hasil analisis akar masalah, susun rencana tindakan perbaikan yang detail, terukur, dan realistis. Untuk setiap temuan, tentukan:
Dokumen ini akan menjadi panduan utama laboratorium untuk bangkit kembali dan akan diajukan kembali ke badan akreditasi.
Eksekusi rencana tindakan korektif secara disiplin. Ini mungkin melibatkan revisi total dokumen sistem mutu (panduan mutu, prosedur, instruksi kerja), perbaikan fasilitas, kalibrasi ulang peralatan, atau yang terpenting, pelatihan ulang personel. Pastikan semua anggota tim memahami perubahan yang dilakukan dan pentingnya sistem manajemen mutu yang baru.
Secara internal, komunikasikan proses perbaikan kepada seluruh tim untuk membangun kembali semangat dan komitmen. Secara eksternal, jika diperlukan, komunikasikan secara jujur kepada pelanggan setia mengenai status laboratorium dan langkah-langkah perbaikan yang sedang dilakukan. Transparansi dapat membantu mempertahankan sisa kepercayaan yang ada.
Setelah semua tindakan perbaikan selesai dan telah diverifikasi efektif melalui audit internal, laboratorium dapat menghubungi badan akreditasi untuk mengajukan penilaian ulang. Persiapkan diri dengan jauh lebih baik dari sebelumnya, pastikan semua bukti objektif dari perbaikan telah terdokumentasi dengan rapi.
Mencegah lebih baik daripada mengobati. Memahami alur dan proses akreditasi secara mendalam dapat membantu laboratorium mengantisipasi potensi kegagalan. Video berikut memberikan gambaran umum tentang proses akreditasi oleh KAN.
Gagal mendapatkan akreditasi adalah sebuah pukulan telak yang berdampak pada reputasi, finansial, dan legalitas sebuah laboratorium. Konsekuensinya merambat dari penolakan hasil uji dan kehilangan pelanggan hingga risiko tuntutan hukum dan demotivasi internal. Namun, kegagalan ini tidak harus menjadi vonis mati.
Dengan respons yang tepat—melalui analisis akar masalah yang jujur, rencana perbaikan yang sistematis, dan komitmen total terhadap budaya mutu—kegagalan justru bisa menjadi katalisator untuk perubahan positif. Ia memaksa laboratorium untuk berbenah secara fundamental, membangun sistem yang lebih kokoh, dan pada akhirnya, menjadi laboratorium yang lebih kompeten dan tepercaya. Anggaplah ini bukan sebagai akhir, melainkan sebagai proses pendewasaan yang menyakitkan namun esensial untuk mencapai keunggulan sejati.
Daftar Pustaka
TTLM at RSUD Dr. Soetomo, Surabaya (Hematology and Immunohistochemistry Technician)